HUKUM WANITA MENJADI IMAM SHALAT BAGI JAMAAH LAKI-LAKI

ADMIN
Analisis Gender Perspektif Islam Terhadap Pemikiran Fiqh Klasik Tentang Hukum Perempuan Imam Bagi Jama’ah Laki-laki.
Setelah melihat pemaparan diatas. Sebenarnya pangkal sengketa adalah adanya dua hadis diatas yang mana, hadis yang digunakan oleh para ulama’ fiqh klasik dalam mengambil hokum tentang perempuan menjadi imam shalat bagi jama’ah lakilaki berdasar hadis dari Ibnu Majah yaitu:
…..ولا تؤمن امرأة رجلا ولا أعرابي مهاجرا ولا فاجر مؤمنا. وإسناده واه
Dan bagi ibnu Majah dari Hadis Jabir ra. “janganlah seorang perempuan mengimami lelaki, seorang badui mengimami seorang muhajir, dan seorang yang fajir (pelaku dosa) mengimami seorang mu’min”. (isnad hadis ini lemah).
Isnad hadis ini lemah, karena di dalamnya terdapat Abdullah bin Muhammad al-Aduwi dari Ali bin Zaid bin Jad’an, Al-Adawi telah dituduh pemalsu hadis oleh al-Waqi’ dan tuanya dia dalam keadaan lemah. Hadis ini memiliki jalan lain didalamnya terdapat Abdullah bin Habib dia dituduh sebagai sariqatul hadis (pencuri hadis) dan mencampur-adukkan sanad-sanad. Bukhari menyebutnya “tak diterima” (ingkar). Abu Hatim menyebutnya “guru tak dikenal” (syuikh majhul), DAaruquthni menyebutkan “ditinggalkan” (matruk).
Hadis tersebut menunjukkan bahwa perempuan tidak boleh mengimami laki-laki. Ini adalah mazhab al-hadawiyah, al-hanafiyah, as-Syafi’iyah, dan alin-lain. Al-Mujani, Abu Tsaur telah membolehkan imam perempuan. At-Thabari membolehkan imam perempuan dalam shalat tarawih selagi tidak ada laki-laki yang hafal al-Qur’an hadir. Dalil mereka dalam masalah ini adalah hadis ummu waraqah seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Mereka memahami larangan ini sebagai larangan tanzih (larangan untuk menjaga kesucian ibadah) atau mereka berkata hadis larangan ini dla’if.[1]

Jumhur ulama menggunakan hadist janganlah sekali”perempuan menjadi imam sholat laki” sebagai dasar untuk melarang perempuan menjadi imam sholat laki”padahal imam nawawi dalam majmu’ syarah muhhadzdzabnya al-syiraziy, mengatakan bahwa hadist mereka itu dhoif. Sementara hadistnya ummu waroqoh lebih kuat. Takhrij hadis ini dibahas dalam tahdzib al-targib karya ibnu hajar al-atsqolani. Juz VI, dan  XI/ 138 dan a’wn al-ma’bud, syarh sunan Abu Daud II/ 302 atau yang lain.[2]

Fairu az-Zabadi berkata, berdasarkan hadis ummu waraqah diatas, perempuan boleh menjadi imam, sedang shalat yang dipimpinnya sah.[3] San’ani berkata, hadis ummu waraqah tersebut merupakan dalil kebolehan perempuan menjadi imam bagi anggota keluarganya walaupun diantara mereka ada laki-laki.[4] Pendapat serupa juga disampaikan oleh Abu Tsaur dan Mazini tetapi jumhur ulama’ menolak kebolehan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Imam Thabari juga membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi jama’ah laki-laki dengan syarat ia adalah orang yang paling fasih. Bahkan beliau menolak hadis yang diriwayatkan oleh ibnu majah seorang diri tentang ketidakbolehannya perempuan menjadi imam shalat bagi lak-laki, karena hadis tersebut dinilai dla’if. Muhammad al-Hasbi mengatakan, bahwa tak satupun dari ulama’ fiqh yang menerima hadis ini kecuali ahmad bin Hambal.[5]
Dalam memahami sebuah hukum hendaklah dipahami pula konteks dari pada sumber hukum itu sendiri. Agar tidak terjebak dalam pemahaman suatu hukum yang kaku dan bias gender. Kontekstualisasi terhadap hadis-hadis yang bias gender tersebut sangat perlu dilakukan agar dapat menghasilkan sebuah interpretasi yang berbeda terhadap hadis-hadis tersebut sehingga tidak lagi bernuansa bias gender dan diskriminasi terhadap perepmpuan.

Selanjutnya yaitu perempuan sebagai imam shoalat dari beberapa pembahasan yang telah dipaparkan dapat dianalisa bahwa adanya illat seorang perempuan pada zaman dahulu dilarang untuk menjadi imam shalat  karena menghindari fitnah (khauf al-fitnah). Perempuan diatkutkan meghilangkan konsentrasi jamaahnya khususnya bagi kaum laki-laki dalam melaksanakan sholat dari suara dan perangai perempuan itu sendiri. Disini dapat dianalisa adanya bias gender dalam argumen-argumen tersebut. Fitnah itu diibaratkan hanya akan menimpa seorang perempuan saja karena diibaratkan seorang perempuan mempunyai unsur-unsur khusus yang dapat membuat seorang laki-laki tergoda dan akhirnya akan menganggu kekhusyu’an sebuah sholat itu sendiri. Hal ini dinilai tidak ada keseimbangan karena ketertarikan atau ketergodaan seseorang dapat dimiliki oleh semua orang dan masing-masing individu bukan hanya seorang laki-laki.
Hadis yang tidak memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki, atau bahkan perempuan lebih dianjurkan shalat di rumah saja, jika dilihat dari konteksnya adalah karena kehadiran perempuan di ruang public dapat menggoda laki-laki sehingga dapat berakibat buruk pada perempuan itu sendiri karena laki-laki tergoda oleh kehadiran perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab pada masa itu memang perempuan diharuskan menutup diri di dalam rumah, dan jika mengharuskan keluar rumah maka busana diharuskan yang menutup seluruh aurat, semua itu untuk kebaikan perempuan itu sendiri. Namun diluar hal tersebut islam menghimbau laki-laki untuk menundukkan pandangan agar tidak tergoda oleh perempuan.
Pada kenyataan masyarakat sekarang, khususnya di Indonesia, perempuan sudah biasa berada di ruang public. Dan laki-laki juga biasa melakukan aktifitas sehari-hari meskipun ada perempuan di ruang publik, tidak langsung menjadi godaan bagi laki-laki hanya dengan melihat perempuan. nah hal ini menunjukkan bahwa konstruksi masyarakat telah berubah dari waktu ke waktu. Pada masa dulu perempuan seolah menjadi ancaman bagi munculnya hasrat kaum lelaki sehingga perempuan harus disubordinatkan, perempuan harus sembunyi dari area public, dengan dalih demi kebaikan perempuan itu sendiri. namun pada masa sekarang tidak lagi demikian.
Maka, jika kita melihat konteks sekarang dengan keadaan ruang dan waktu yang sudah sangat jauh berbeda dengan zaman rosulullah dahulu yang mayoritas kaum laki-laki tidak dapat menahan diri terhadap nafsunya saat melihat sosok wanita, illat itu masih berlaku. Namun dengan konteks sekarang dan khususnya di Indonesia, dengan perempuan yang juga memiliki kemampuan dan kapabilitas yang tidak jauh berbeda dari laki-laki dari bacaan Al-Qur’an dan kitab-kitabnya (keilmuan agama) , serta keadaan masyarakat yang berbeda dari zaman rosulullah dahaulu, maka illat hukum untuk melarang seorang perempuan menjadi imam sholat sudah tidak belaku kembali.  Berdasarkan kaidah ushul fiqh, jika substansi larangan (illat hukum) tidak ada, maka hukum pun tidak ada.
Sehingga jika motif suatu hukum telah tidak ada maka hukum tersebut pun tidak berlaku. Karena berlakunya suatu hukum disertai dengan illatnya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul “Hukum itu berkisar beserta ‘illatn/motifya baik adanya ataupun tidak adanya”.
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما[6]
 Di samping itu, analisis lain terhadap adanya hadis ummu waraqah yang memperbolehkan ummu waraqah mengimami penghuni rumahnya, padahal penghuni rumahnya tidak semua perempuan namun juga ada laki-laki tua dan mu’adzdzinnya. Banyak yang berpendapat bahwa hadis tersebut dikhususkan hanya untuk ummu waraqah. Namun bukan berarti tidak berlaku bagi orang lain. Sebab, ketika adanya nash yang tidak bertentangan dengan maqashid syariah maka yang dipandang adalah keumumam sebuah lafadz bukan sebab-musabab turunnya nash yang khusus tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyyah “Ungkapan itu berdasar keumuman lafadz bukan pada kekhususan sebab”.
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب[7]
Dari seluruh pembahasan diatas, diperbolehkannya perempuan dalam imam sholat bagi jamaah laki-laki diatas, bukan semata-mata kemudian memperbolehkan setiap pada jamaah sholat untuk diimami oleh perempuan. Dalam hal ini, syarat menjadi seorang imam itu masih tetap digunakan sebagai rujukan untuk menentukan imam sholat pada sebuah jamaah dengan menghapus poin laki-lakilah yang harus menjadi seorang imam, dan wanita dilarang untuk menjadi seorang imam sholat bagi laki-laki. Seperti dalam pembahasan sebelumnya tentang hadist dari sunan Tirmidzi, disebutkan bahwa yang paling berhak untuk menjadi imam adalah orang yang paling bagus bacaan al-Qur’annya, jika bacaan al-Qur’an mereka sama maka yang paling mengetahui Sunnah, jika pengetahuan tentang sunnah diantara mereka sama, maka yang lebih dahulu hijrah, dan jika mereka sama dalam hijrah mereka maka yang lebih tua.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يؤم القوم أقرؤاهم لكتاب الله , فإن كانوا في القراءة سواء , فأعلمهم بالسنة , فإن كانوا في السنة سواء , فأقدمهم هجرة , فإن كانوا في الههخرة سواء فأكبرهم سنا, ولا يؤم الرجل في سلطانه, ولا يجلس على تكرمته في بيته إلا بإذنه. قال ابن نمير في حديثه : أقدمهم سنا.[8]
Maka, dapat dikerucutkan bahwa seorang perempuan dapat menjadi imam sholat bagi Jamaah laki-laki jika pada satu jama’ah jika perempuan disitu menjadi satu-satunya yang memenuhi kualifikasi sebagai imam sholat dari segi kualitas dan kapabilitasnya. Misalnya seorang perempuan yang fasih bacaan al-qurannya berada pada satu jamaah bersama laki-laki yang kesemua laki-laki itu kualitas bacaan al-qurannya dibawah perempuan tersebut. Maka dalam kasus ini seorang perempuan diperbolehkan untuk menjadi seorang imam.
Sehingga dalam penentuan imam shalat bukan dilihat dari perspektif gender namun menekankan tingkat kualitas dan kapabilitas yang dimiliki seseorang tersebut, kare Allah SWT telah menyebutkan bahwa :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿١٣﴾  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” )Al-Hujarat:13)




[1] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani. Subulus Salam syarh Bulughul Maram. Jilid 1. Darus Sunnah. Jakarta Timur. 2014. Hal 643-644.
[2] KH. Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiyai Pesantren,Lkis . Yogyakarta. 2004. Hal. 123-124.
[3] Fairu az-Zabadi. Ainu al-Ma’bud ‘Alaa Syarh Sunan Abi Daud, Lebanon: Dar al-Fikr juz2 hal 211 sebagaimana dikutip oleh Muh Romzi al-Amiri Mannan dalam bukunya Fiqh Perempuan Pro Kontra Kepemimpinan Perempuan dalam wacana Islam Klasik dan Kontemporer. Pustaka Ilmu. Yogyakarta. 2011. Hal 220.
[4] San’ani. Subulus Salam ‘alaa Syarh Bulughul Maram, Lebanon: Dar al-Fikr Juz 2 hal 35. Sebagaimana dikutip oleh Muh Romzi al-Amiri Mannan dalam bukunya Fiqh Perempuan Pro Kontra Kepemimpinan Perempuan dalam wacana Islam Klasik dan Kontemporer. Pustaka Ilmu. Yogyakarta. 2011. Hal 220.
[5] Muh al-Habsi. 2014 hal 77-78 sebagaimana dikutip oleh H. Muh. Romzi al-Amiri Mannan. Fiqh Perempuan Pro Kontra Kepemimpinan Perempuan dalam wacana Islam Klasik dan Kontemporer. Pustaka Ilmu. Yogyakarta. 2011. Hal 220.
[6] Drs. H. Muhlish Usman, MA. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1996. Hal 192.
[7] Ibid kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Hal 42.
[8] Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah. Al-Jami’ al-Shahih Sunan At-Tirmidzi. Juz al-Tsani. Dar al-fikr. Beirut Lebanon. Tp.th. hal 458-459.

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.